Pasca krisis finansial global, dunia dibuat suspense dan nervous.
Saat ini, dunia tengah merasakan dampak ikutan dari krisis tersebut yang
ditengarai akan jauh lebih hebat dari krisis awal itu sendiri. Jika
dibuat perumpamaan, krisis finansial yang dipicu kasus subprime mortgage
di Amerika Serikat ibarat pengumuman akan terjadinya sebuah
‘peperangan’. Sementara, dampak krisis yang menjadi endemi sebagaimana
sekarang menandakan bahwa ‘perang’ benar-benar berkobar: The Economic
War atau Perang Ekonomi. Seluruh bangsa di bumi tengah berperang melawan
kondisi ekonomi yang begitu genting (fragile of economic).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia melambat bahkan ada yang
terancam collaps. Berbagai perusahaan multinasional berkantong tebal
yang sebelumnya tak tersentuh krisis tiba-tiba berguguran. Yang masih
hidup tapi dalam kondisi sekarat disambung nyawanya oleh pemerintah
dengan bail out. Pasar modal dan keuangan rontok. Jumlah produksi barang
maupun jasa anjlok. Volume perdagangan menurun. Lapangan pekerjaan
menguap. Sementara angka pengangguran dan kemiskinan kian hari kian
merebak.
Berbagai negara ramai-ramai ambil kebijakan. Segala diskusi,
seminar hingga konferensi digelar. Agenda pertemuan tahunan baik
nasional maupun internasional pun tak luput mendiskusikan masalah ini.
Seperti
awal Maret silam, di Jakarta diselenggarakan 5th World Islamic Economic
Forum—di mana Indonesia mengambil bagian penting sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar—yang membahas secara intens masalah tersebut
dalam tajuk “Food and Energy Security & Streaming the Tinde of
Global Finansial Crisis”. Kini giliran menteri keuangan negara-negara
yang tergabung dalam Group of 20 (salah satunya adalah Indonesia)
mengadakan pertemuan awal sebagai persiapan pertemuan akbar G-20 di
London bulan depan. Pertemuan ini untuk membahas apa pun yang bisa
dilakukan untuk mereduksi dampak krisis global.
‘Jurus Pamungkas’
Berbagai
negara di dunia pasang kuda-kuda dan mengeluarkan ‘jurus pamungkas’ ala
negeri Paman Sam berupa paket stimulus (stimulus package), termasuk
Indonesia. Tercatat, pemerintah telah bersepakat untuk mengeluarkan
paket stimulus sebesar Rp 73,3 triliun yang dibarengi dengan kebijakan
bank sentral menurunkan suku bunga untuk menggairahkan kembali
perekonomian. Di sela-sela proses realisasi stimulus tersebut,
perekonomian kita sudah mendapat ancaman pertumbuhan negatif pada
triwulan ketiga 2009 mendatang (Kompas, 15/3).
Sedangkan di negara
asalnya, Amerika, besaran paket stimulus mencapai 678 miliar dolar atau
setara dengan 600 miliar euro. Keadaan ini semakin membuat ekonomi
Amerika kian sakit. Sebelum paket stimulus saja, defisit AS sudah
mencapai 6 persen dari PDB. Pasca stimulus, diperkirakan defisit ini
akan membengkak hingga 12 persen dari PDB (Kompas, 14/3).
Berseberangan
dengan Amerika, Uni Eropa cenderung memberlakukan pengetatan aturan
perekonomian meskipun tak luput dari kebijakan paket stimulus tersebut.
Sebagai perbandingan, besaran paket stimulus UE (yang merupakan gabungan
beberapa negara di Benua Eropa) tersebut hanya mencapai kurang lebih
400 miliar euro. Mereka bahkan menjaga agar defisit maksimal sebesar 3
persen PDB.
Berdasarkan pengalaman UE, kebijakan mengendalikan
inflasi dan tingkat defisit anggaran telah berhasil menjaga perekonomian
mereka pada kondisi yang cukup stabil. UE berkeyakinan, pengguyuran
dana ke pasar secara ’jor-joran’ hanya akan memicu tindakan spekulasi
oleh para spekulan yang justru membahayakan perekonomian. Pendapat ini
juga diamini sang mahaguru spekulan, George Soros.
Hingga sekarang,
kebijakan pengguyuran dana ke pasar ala AS dan pengetatan anggaran UE
menjadi dua kubu kebijakan yang saling tarik ulur dalam pertemuan awal
G-20 tersebut. Meskipun, semua negara anggota G-20 diwakili menteri
keuangan masing-masing akhirnya sepakat harus ada tindakan nyata yang
diambil untuk menyelamatkan negara-negara yang berada di ambang
kebangkrutan melalui IMF, melanjutkan paket stimulus dan menurunkan
tingkat suku bunga (BBC News, 15/3).
Adakah Jalan Keluar?
Blessing
in the disguise. Selalu ada hikmah dibalik kejadian sekalipun sebuah
krisis. Krisis yang terjadi sekarang sejatinya adalah akibat dari
perilaku bad faith para pelaku ekonomi dalam mengejar sebesar mungkin
keuntungan. Perilaku tersebut berupa menghalalkan segala cara untuk
memperkaya diri, tak peduli apakah tindakan tersebut akan merugikan
pihak lain, negara, perusahaan atau lingkungan (Henricus W. Ismanthono,
2003).
Dalam kasus subprime mortgage, kita bisa melihat bahwa
pemicunya adalah pelipatgandaan utang disertai lemahnya kontrol dalam
memberikan utang itu sendiri yang mengakibatkan bad debt atau utang yang
tidak terbayar. Pada titik ini, ada prinsip ketuhanan yang dilanggar.
Dalam kitab-kitab suci beberapa agama, pelipatgandaan utang dengan
sistem bunga sendiri sudah merupakan hal yang tercela. Seperti dalam
Islam, bunga (riba) disebut-sebut sebagai salah satu dosa besar.
Untuk
segera keluar dari keterpurukan ekonomi, sepertinya manusia harus
menghayati dan merenungkan kembali setiap tindakannya. Setiap tindakan
ekonomi yang diambil perlu dibarengi etika moral dan tidak berseberangan
dengan prinsip ketuhanan tadi. Sistem perekonomian yang berbasis
nilai-nilai moral dan agama (sebut misalnya: Ekonomi Syariah) yang
bahkan mulai berkembang di negara sekuler, bisa menjadi alternatif
pilihan sebagai platform baru perekonomian. Mengeliminasi variabel bunga
dalam perekonomian bukanlah hal yang mustahil sebagaimana dibuktikan
oleh sistem Perbankan Syariah.
Tidak perlu panik berlebihan. Yang
dibutuhkan sekarang adalah bahu-membahu segenap komponen untuk mereduksi
dampak krisis ini. Pembuat kebijakan mesti cekatan mengambil segala
tindakan yang tepat yang bisa menyelamatkan perekonomian dunia yang
hampir karam. Yang diberi kekayaan berlebih berempatilah pada mereka
yang kurang beruntung (rakyat miskin). Tahan segala keinginan untuk
bersikap konsumerisme. Budayakan kembali sikap hemat, sederhana, tolong
menolong dan bersikap ramah terhadap lingkungan. Yakinlah, badai pasti
berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar